Hinna-kami

Gambar

Hinna-kami adalah ritual untuk membuat sebuah boneka yang bisa mewujudkan segala keinginan dari pembuatnya. Namun, pada akhirnya akan membawa kesengsaraan bagi yang memujanya.

Bagaimana membuat Hinna-kami :

*      Kumpulkan tanah dari tujuh makam dari tujuh desa yang berbeda.

*      Campur tanah itu dengan darah manusia dan bentuk menjadi sebuah boneka dewa/dewi yang kau yakini.

*      Kuburkan boneka itu di jalan-jalan yang ramai dan biarkan seribu orang melangkah di atasnya.

*      Jika kau memuja boneka itu nantinya, dia akan mewujudkan segala keinginanmu.

Tapi sebelum kau melakukan ritual ini, ingat bahwa Hinna-kami akan mengikutimu seumur hidup, dan pada akhirnya kau akan berakhir dengan kematian yang sangat menyakitkan dan mengerikan. Benda itu mungkin bisa menguasai jiwamu setelah kematian, dan membawanya ke neraka.

Di Jepang, apalagi di sekitar prefektur Toyama, orang-orang mengartikan Hinna-kami sebagai nama yang diberikan kepada jenis roh yang selalu ingin menguasai. Pada jaman dahulu, jika orang-orang yang tinggal di daerah itu melihat sebuah keluarga yang tiba-tiba menjadi kaya, maka mereka akan beranggapan bahwa keluarga itu pasti memuja Hinna-kami.

Ada juga pembuatan Hinna-kami dengan cara lain :

*      Buat seribu buah boneka, dengan masing-masing tingginya 9cm lalu rebus mereka di sebuah panci.

*      Jika kau melihat satu dari seribu boneka itu mengapung di permukaan air. Namakan boneka itu ‘Kochobo’, konon boneka ini telah memerangkap seribu roh di dalamnya.

*      Jika kau memuja boneka itu nantinya, dia akan mewujudkan segala keinginanmu.

Jika kau tidak memberitahu apa keinginanmu seterusnya, maka dia akan mendatangimu dan menanyakan “Apa berikutnya? Apa berikutnya?”. Maka dari itulah disebutkan bahwa keluarga yang memuja Hinna-kami akan kaya mendadak.

Kami dalam bahasa Jepang berarti ‘dewa/tuhan’. Ada banyak cara lain membuat Hinna-kami, beberapa juga berbunyi boneka itu harus terbuat dari batu nisan atau membutuhkan tiga ribu orang dalam jangka waktu tiga tahun.

Buletin Berita

Buletin Berita merupakan pengalaman dari seseorang yang menyalakan televisi di suatu malam dan menemukan ada yang aneh dengan acara televisinya.

Sekitar 10 tahun yang lalu, saya pernah menyalakan televisi di sekitar pukul 2.30 dinihari. Saya cukup yakin, ketika itu saya melihat layarnya menunjukkan batang-batang berwarna seperti ketika stasiun televisi sudah habis jamnya, dan tidak ada tanda-tanda acara akan dimulai. Saya hampir saja menyerah dan pergi tidur kembali ketika tiba-tiba batang-batang warna itu lenyap di layar, dan gambar sebuah tempat muncul menggantikannya.

Bersamaan dengan gambar itu, kalimat “Buletin Berita NNN” keluar dari televisi. Sesaat layar itu terus menampakkan gambar tempat yang sama, diambil dari jauh.

Saya tetap menontonnya, penasaran apakah itu. Segera beberapa nama mulai muncul, bergerak pelan dari atas turun ke bawah, seperti nama-nama yang ada di dalam akhir sebuah film dan sebuah suara datar keluar membacakan nama itu satu demi satu. Itu berlangsung selama lima menit atau lebih, di balik sunyinya suasana kala itu, dengan musik yang menyeramkan sebagai latar belakangnya.

Akhirnya setelah semua nama sudah disebutkan, suara itu kemudian berkata “Mereka adalah para korban di esok hari. Selamat malam.”

Sejak itu saya sangat ketakutan jika harus menonton televisi lewat tengah malam. Dan tidak satu pun yang mempercayai ceritaku ini.

Legenda Sungai Sanzu

Gambar

Sungai Sanzu berada di dekat Gunung Osore. Sanzu adalah nama yang sama dengan sungai di mitologi Jepang yang memisahkan alam manusia dengan alam baka. Konon jika seseorang menyeberangi sungai ini, dia tidak akan pernah kembali ke dunia nyata.

Sudah banyak cerita tentang pengalaman seseorang yang mengalami sekarat atau hampir mati ketika melihat sungai alam baka ini. Mereka menemukan diri mereka tengah berdiri di pinggir sungainya, dan di seberangnya berdiri seseorang yang memanggil-manggil.

Seseorang itu biasanya adalah seseorang yang sangat dicintai atau leluhur, kadang-kadang juga orang asing. Sementara orang-orang di seberang lainnya biasa memanggil-manggil mereka kembali dan tidak menyeberang ke sungai itu.

Sebuah cerita juga mengisahkan pengalaman seseorang ketika melihat orang-orang melambaikan tangannya memanggil dan menyuruh untuk menyeberangi sungai itu, ada sebuah kekuatan yang menahannya dan memaksa dirinya untuk segera bangun.

Menurut Legenda Sungai Sanzu atau Tepi Sungai Sai (Sai no Kawara) merupakan tempat dari roh seorang anak kecil yang meninggal lebih dulu dari orangtua mereka karena karma buruknya. Karena terlalu berdosa untuk ke surga, namun terlalu naif di neraka, mereka kemudian ditempatkan di sungai itu. Dikatakan bahwa Setan kemudian akan menggunakan mereka untuk mengambil batu-batu yang ada di sekitar sungai untuk membangun sebuah menara sebagai penebusan dari rasa berdosa mereka. Namun, Setan juga akan terus menghancurkan menara itu tiap kali anak-anak itu berhasil membangun sebuah menara di sungai itu. Roh anak-anak itu akan terus terperangkap di tempat itu untuk membangun menara batu yang hanya akan dihancurkan oleh Setan. Dengan begitu, mereka akan merasa berdosa selamanya.

Gambar

Legenda Sungai Sanzu juga merupakan bagian dari tradisi agama Buddha di Jepang. Dikatakan bahwa seorang manusia yang telah meninggal dunia akan menyeberangi sebuah sungai yang membatasi alam manusia dengan alam baka. Mudah atau sulitnya menyeberangi sungai itu sesuai dengan perbuatan manusia itu sendiri semasa hidupnya. Konon orang baik akan menyeberangi sungai itu dengan mudah, sedangkan orang jahat diharuskan menebus kesalahannya dahulu di sungai itu. Jika mendesak, beragam halangan bisa menyiksa orang itu sesuai dosanya. Ada yang disiksa oleh sosok iblis yang berubah menjadi naga, air berbentuk ular yang mencengkeram roh manusia, atau sesuatu yang lebih menakutkan lainnya. Pada ritual pemakaman orang Jepang, biasanya enam buah koin juga ditempatkan di peti mati orang yang sudah meninggal. Koin-koin itu dipercaya akan digunakan orang itu untuk membayar biaya dalam menyeberangi Sungai Sanzu.

Tensu Metsu

Tensu Metsu adalah urban legend tentang teror yang menghadang orang-orang yang berjalan di sekitar jalanan pegunungan. Suatu waktu seorang ibu membawa anaknya berkendara. Ketika mobil itu mogok sekitar pegunungan yang sunyi, mereka kemudian melihat penampakan yang mengerikan. Cerita ini berdasarkan cerita yang ada di Jepang.

Gambar

Seminggu yang lalu, saya tengah mengemudi pulang ke rumah dan anak perempuanku bersamaku di mobil saat itu. Saya tengah tergesa-gesa, jadi saya memutuskan untuk menyusuri jalan singkat yang melalui sebuah pegunungan yang sunyi. Tiba-tiba, di tengah-tengah perjalanan, mesin mobilku mulai tersendat-sendat dan tidak lama berhenti jalan.

Ketika saya melihat telepon genggamku, tidak ada sinyal sedikit pun. Kami benar-benar terjebak, di dalamnya pegunungan. Saya tidak tahu harus berbuat apa dan langit saat itu mulai gelap. Tidak ada tempat pengisian bahan bakar dekat situ dan tidak satu pun yang tampak melintasi jalan itu.

Sudah jelas kami harus menghabiskan malam ini di dalam mobil saja dan berharap ada yang melintas, berhenti dan memberi kami tumpangan. Matahari sudah tenggelam di balik gunung dan udara mulai dingin. Sebuah perasaan ngeri di balik heningnya suasana pegunungan di malam hari muncul dan yang terdengar hanyalah desiran angin yang menembus pepohonan.

Putriku sudah tidur di kursi penumpangnya, saya pun menutup mataku dan mulai terlelap ketika saya mendengar suara yang lainnya.

Suara itu seperti suara seseorang.

Saya tidak bisa mengatakan dengan jelas apa itu. Kedengarannya seperti ocehan.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Awalnya, saya kira ini mimpi, tapi suara itu makin dekat dan kian mendekat. Saya membuka mataku dan melihat di sekelilingku.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Sesosok gelap lalu muncul dan mendekati mobil. Yang ku lihat hanyalah sebuah bayangan. Tampak seperti seorang pria yang kelihatannya tengah menyeret-nyeret kakinya.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Tiba-tiba, suara itu berhenti. Berganti dengan ngerinya keheningan malam yang kembali.

Tidak lama, saya melihat dengan terperanjat ketakutan. Di samping itu, saya harus menghentikan diriku untuk tidak berteriak sekencang mungkin.

Berdiri di jendela penumpang sosok paling menyeramkan yang pernah ku lihat. Seperti seorang pria, tapi wajahnya sangat buruk dengan garis-garis wajah yang menakutkan. Penampakannya benar-benar membuatku tak bisa berkata-kata. Tampak seperti tiap bagian dari kulit wajahnya terkelupas dan yang tersisa hanya darah dan urat-uratnya.

Dia tidak punya hidung. Tidak punya telinga, sorot matanya tajam menembus kaca jendela itu.

Saya lalu memutar kunci kontak mobilku dan mencoba menyalakannya, tapi tidak ada gunanya. Mobil itu hanya bergetar sebentar dan mati.

Di luar jendela itu, pria yang mengerikan itu mengeluarkan sebilah pisau. Dia mulai menggumam ulang-ulang sendirian.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Tiap kali dia mengatakan itu, dia menusuk jendela itu dengan pisaunya – memukul dengan keras dan semakin beringas tiap kalinya. Saya terus mencoba menyalakan mesin mobilku. Airmata sudah dari tadi mengalir di wajahku. Saya benar-benar tak berdaya untuk keluar dari sana.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Tiba-tiba, hantaman yang keras terdengar dari jendela penumpang. Kacanya pecah – menyebar ke seluruh tubuh putriku. Saya berteriak semakin histeris. Tangan pria itu menembus jendela dan masih menggenggam pisau tajamnya, sembari mengacungkannya ke arahku.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Tidak lama dari situ, ketika saya memutar sekali lagi kunci mobilku, entah bagaimana mesin itu berderung hidup. Sontak saya menginjak pedal gasnya dan membawa mobil itu lari dari cengkeram makhluk menyeramkan itu. Saya terus memacunya di tengah jalanan sempit pegunungan, meninggalkan pria itu di belakang.

Saya tidak tahu kemana kami pergi, saya hanya terus mengemudi dan memacu mobilku, tanpa pernah memandang ke belakang lagi.

Ketika itulah saya menyadari bahwa anak perempuan tidak pernah bergerak. Ketika aku berhenti untuk melihatnya, saya lalu menemukan dirinya bergumam sendiri.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Seketika bulu kudukku berdiri.

Wajah putriku memucat dan dia gemetar. Saya mengguncang tubuhnya, berusaha menyadarkannya, tapi ketika dia membuka matanya, yang ada dia sungguh membuatku ketakutan.

Matanya berputar ke belakang – saya hanya melihat bola putih matanya. Dia mengencangkan rahangnya dan mulai mengeluarkan busa dari mulutnya. Wajahnya berubah. Dia bahkan tidak terlihat seperti putriku lagi. Dia hanya terus mengerang, lagi dan lagi.

“Tensu Metsu! Tensu Metsu! Tensu Metsu!”

Saya melanjutkan memacu mobilku dan akhirnya sampai di riuhnya perkotaan. Kami langsung ke gereja dan saya memarkirkan mobilku di sampingnya. Memapah tubuh anakku, saya kemudian membawanya masuk ke gereja dan berteriak meminta tolong.

Seorang pendeta tua muncul di depan pintunya dan menanyakan apa yang terjadi. Saya menceritakan seluruh yang ku temui di jalan pegunungan. Dia memandang putriku, lalu mengambilnya dari lenganku dan membaringkannya di altar gereja.

Saya hanya melihatnya, sambil menangis dan gemetar karena ketakutan, pendeta itu mengambil sebuah rosari dan menggengam salib kayu di hadapan putriku. Tidak lama kemudian, dia mulai membaca doa-doa dalam bahasa Latin.

Pendeta itu mengijinkan kami untuk tinggal di sana malam itu. Dia membawa putriku di kamar yang lain dan menjaganya semalam penuh, menggenggam tangannya, membalurinya dengan air suci seraya membacakan ulang doa-doa untuknya. Dia juga menaruh sebuah alkitab di dadanya dan sebuah scapula di lehernya.

Dia memberitahu bahwa putriku tengah dirasuki oleh iblis dan dia harus melakukan ritual eksorsis untuknya. Dia bilang jika itu tidak dilakukan dan putriku dibiarkan terus begitu hingga 49 hari, dia tidak akan pernah sembuh lagi. Dia akan sepenuhnya kehilangan kesadarannya.

Pendeta itu menyuruhku untuk mempercayakan anak perempuanku padanya jadi dia bisa melakukan ritual yang seharusnya. Dia juga bilang kalau saya tinggal, ada kemungkinan iblis itu juga bisa beralih merasukiku.

Sudah seminggu sejak anak perempuanku mengalami hal itu dan pendeta itu masih merawatnya. Saya mengunjunginya tiap hari. Ini membuatku merasa dia tidak seperti putriku lagi. Dia hanya menyeringai dan menatapku dengan pandangan mengerikan.

Saya benar-benar ingin putriku kembali.

Jika kau nanti menemukan dirimu tengah berkendara sendiri di pegunungan, apapun itu, jangan pernah berhenti …

Foto Hitam Putih

Foto Hitam Putih adalah cerita seram tentang sekumpulan muda-mudi yang pergi berkemah dan tanpa sengaja lewat di depan sebuah gubuk tua di pegunungan. Cerita ini berdasarkan cerita yang ada di Jepang.

Gambar

Ketika saya masih sekolah, saya pergi berkemah di gunung dengan ketiga teman baikku. Setelah kami mendirikan tenda, kami berncana untuk mengarungi area sekitarnya. Setelah berjalan-jalan selama satu jam, kami mulai lelah dan langit juga sudah mulai gelap. Saat itu memang sudah waktunya untuk kembali ke kemah.

Lalu kemudian, tanpa sengaja kami melewati sebuah gubuk tua yang terbengkalai. Penasaran, kami semua memutuskan untuk memeriksanya. Ketika saya mengingat kembali tentangnya, seharusnya saat itu kami meninggalkan tempat itu begitu saja dan kembali ke kemah kami.

Gubuk tua itu sudah sangat buruk dan kayu-kayunya sudah mulai lapuk dan membusuk. Salah satu temanku mencoba untuk membuka pintunya, tapi pintu itu terasa sulit untuk dibuka. Kami semua kemudian beramai-ramai untuk menariknya dan memaksa pintunya terbuka.

Di dalam gubuk itu, debu dan sampah berserakan di lantainya. Ada sebuah meja di sana dan di sampingnya, sekumpulan kertas suratkabar tersusun di sana. Tampaknya tempat ini sudah lama tidak ditinggali pemiliknya.

Saat temanku melihat-lihat sekeliling gubuk itu, saya mengambil salah satu suratkabar yang ada di sana. Tanggalnya menunjukkan tahun 1961. Saya kemudian penasaran siapa yang tinggal di gubuk ini di tahun itu.

Saya membuka halaman demi halaman dari suratkabar itu hingga saya sampai di salah satu halamannya – yang paling belakang. Ada sebuah artikel di halaman depannya yang tampak familiar. Saya melihat tanggal dari suratkabar itu dan menyadari bahwa suratkabar itu baru saja di sini beberapa hari yang lalu.

Ada seseorang yang benar-benar tinggal di sini.

Saya merasa tidak nyaman, perutku terasa mual.

Tidak lama kemudian, salah satu dari temanku menyahut, “Wow!”

“Ada apa?” tanyaku.

“Ketika aku membuka laci mejanya, keluar ini …” katanya, seraya menunjuk ke foto-foto hitam putih yang ada di lacinya.

Dia mengambil foto-foto itu keluar dan kami semua melihatnya. Awalnya saya tidak tahu apa yang ku lihat. Ada gambar-gambar dari dua orang gadis yang duduk di kursi. Foto-foto itu tampaknya diambil dalam gubuk itu. Ketika melihatnya lebih dekat, saya lalu menyadari bahwa gadis-gadis itu tengah diikat dan ditawan. Mimik wajah mereka mengerikan.

“Oh, Tuhan!” sahut salah satu temanku.

“Ini aneh,” kataku. “Ayo cepat keluar dari sini … lekas!”

Kami meninggalkan gubuk itu secepatnya dan mulai menyusuri perjalanan panjang ke tempat berkemah kami. Saat itu langit sudah gelap dan kami terbiasa melihat dari balik pundak kami ke belakang – memastikan tidak seorang pun mengikuti.

Malam itu, tidak satu pun dari kami bisa terlelap. Kami terus terjaga di dalam tenda dan mengobrol tentang foto-foto hitam putih yang aneh itu. Kami semua ketakutan karenanya.

“Mungkin kita harus melaporkan hal ini kepada polisi.” saranku.

“Mari lupakan semua yang terjadi hari ini.” timpal temanku.

Semuanya lalu sepakat.

Keesokan paginya, kami mengepak barang-barang kami dan berkendara pulang ke rumah. Temanku menurunkanku di depan rumahku. Ayah dan ibu sedang keluar untuk berakhir pekan, jadi saya masuk sendiri mengangkat tasku dan langsung naik ke atas untuk segera mandi.

Ketika saya membuka pintu kamarku, saya benar-benar terperanjat.

Di dindingnya berbaris foto-foto hitam putih. Foto-foto yang sama yang kami temukan di dalam gubuk itu.

Bake-neko

Bake-neko atau Setan Kucing merupakan makhluk supranatural yang ada di cerita rakyat Jepang. Bake-neko sejatinya merupakan kucing biasa yang berubah menjadi setan yang menakutkan. Menurut legendanya, dia bahkan bisa mengubah wujudnya menjadi sesosok manusia. Bake-neko memiliki arti “Kucing Setan” atau “Kucing yang mampu berubah wujud”.

Gambar

Pada masa yang lampau di Jepang, ada banyak takhyul mengenai kucing. Banyak orang percaya bahwa seekor kucing bisa menjadi kucing setan yang menakutkan, dan disebut Bake-neko, jika kucing itu telah hidup di tempat yang sama selama 13 tahun dan memiliki berat 3 kilogram lebih.

Ada yang bilang Setan Kucing itu bisa berjalan dengan dua kaki layaknya seorang manusia. Juga bisa mengubah wujudnya menjadi manusia, melahap mereka dan mengambil kepribadiannya.

Kisah Bake-neko yang terkenal melibatkan seorang lelaki yang bernama Takatsu Genbei, yang kehilangan kucing yang telah dipeliharanya selama bertahun-tahun tepat ketika kepribadian ibunya mendadak berubah sama sekali. Wanita tua itu menolak untuk makan bersama dan membawa makanannya ke kamarnya untuk dimakan sendiri. Ketika anggota keluarganya penasaran dan mengintipnya, mereka melihat tidak ada yang mirip dengan sosok wanita itu melainkan makhluk seperti kucing raksasa dalam pakaian wanita tua tersebut, tengah mengunyah bangkai binatang. Takatsu, walau benar-benar enggan melakukannya, akhirnya membunuh sosok yang mirip ibunya itu. Sehari berselang tubuh sosok itu perlahan kembali ke wujud kucing peliharaannya yang hilang. Tak lama setelah itu, Takatsu bersedih setelah merobek alas tatami dan lantai papan kamar ibunya. Di sana, dia menemukan tulang belulang ibunya, tersembunyi di sana dengan daging yang telah bersih dari tulangnya.

Kisah terkenal lainnya, disebut “Kucing Setan Nabeshima” yang menceritakan tentang seorang pangeran yang menjadi korban Bake-neko. Suatu malam, pangeran ini berjalan di taman istananya dengan geisha kesukaannya – seorang gadis bernama O Toyo. Mereka lalu tidak menyadari bahwa mereka tengah dibuntuti oleh sesosok makhluk yang mengendap-endap dalam kegelapan.

Setelah pangeran itu hendak beristirahat dan pergi ke kamarnya, Bake-neko diam-diam menyelinap ke kamar geisha itu dan menunggu di bawah tempat tidurnya hingga gadis itu tertidur. Tengah malam, Kucing Setan itu naik ke atas gadis yang terlelap itu dan mencekiknya hingga tewas. Kemudian dia menyeret tubuh gadis itu keluar, menggali sebuah lubang di taman bunga, dan mengubur jasad itu dalam sebuah makam buatannya.

Setelah selesai melakukan perbuatan jahatnya, kucing jahat itu mengubah wujud dan penampilannya menjadi geisha yang telah dibunuhnya itu, dan mengelabui orang-orang. Tiap malam, Bake-neko menyamar menjadi gadis itu, menyelinap ke kamar pangeran untuk meminum darahnya.

Tak lama, pangeran itu mengeluh telah mengalami mimpi yang sangat buruk. Tubuhnya melemah dan wajahnya pucat. Para dokter disibukkan dengan penyakit misterius yang menimpa pangeran dan memerintahkan penjaga agar menjaga kamar pangeran selama dia tertidur. Meski begitu, mendekati tengah malam, para penjaga itu merasa mengantuk sekali. Tak peduli bagaimana mereka mencoba untuk tidak tidur, mereka tidak bisa tetap terjaga.

Akhirnya, seorang prajurit muda yang bertugas di kerajaan datang ke istana pangeran. Ketika dia mendengar tentang kejadian aneh yang menimpa pangeran, dia mengajukan dirinya untuk berjaga dan melindungi pangeran. Ketika tengah malam mulai tiba, prajurit itu melihat para penjaga lain mulai mengantuk, satu per satu dari mereka akhirnya tertidur. Walau mulai merasakan kantuk juga, prajurit itu berusaha untuk tetap terjaga. Merasa kesulitan untuk menahan rasa kantuknya, dia mengambil belati dan menancapkannya di pahanya, agar dia bisa tetap terjaga. Kapan pun dia merasa akan segera tertidur, dia akan memutar pisau itu di lukanya untuk menambah rasa sakitnya sehingga dia tetap terjaga.

Tengah malam itu, prajurit itu melihat pintu geser pangeran terbuka perlahan-lahan. Dari sana, seorang geisha yang cantik diam-diam merangkak masuk ke kamarnya dan berjalan menuju kamar tidur pangeran itu. Prajurit itu kemudian bangkit dengan pisau di tangannya, namun ketika geisha itu menoleh dan melihatnya, dia langsung pergi meninggalkan tempat itu tanpa bersuara, sama seperti bagaimana dia masuk.

Selama tiga malam berturut-turut, prajurit itu berdiri menjaga pangeran yang tertidur, menikam tubuhnya tiap malam agar tetap berjaga. Kesehatan pangeran pun mulai kembali. Ketika prajurit itu menceritakan tentang geisha itu, entah kenapa, pangeran itu menolak untuk mendengarkannya. Dia tak membolehkan seorang pun meragukan kesetiaan gadis kesukaannya itu. Tidak gentar, prajurit itu menyusun rencana untuk menghadapi geisha itu sendirian.

Di tengah larut malam, prajurit itu mengetuk kamar gadis itu. Dia bilang dia membawa pesan untuknya dari pangeran. Ketika gadis itu membuka pintu kamarnya, prajurit itu dengan cepat mencabut belatinya dan mencoba menikam gadis itu, tapi dengan mudahnya gadis itu berkelit menghindari serangannya. Geisha itu kemudian berubah menjadi wujud aslinya, Bake-neko dan menyerang balik prajurit itu dengan geramnya, mendesis dan mengumpat ketika dia berusaha bertahan.

Keduanya terlibat perkelahian yang sengit, tapi ketika prajurit itu mulai memenangkannya, Bake-neko lari menerobos jendela, naik ke atas atapnya, dan terjun ke sebuah taman. Makhluk itu berhasil melarikan diri ke pegunungan.

Keesokan harinya, prajurit itu menceritakan pada pangeran apa yang telah terjadi. Petugas kebun istana mencangkul taman bunga itu dan menemukan jasad dari geisha yang asli. Dirundung duka, pangeran itu kemudian memerintahkan penjaganya untuk memburu Kucing Setan itu. Bake-neko kemudian berhasil dibunuh oleh prajurit muda itu, setelah menemukan kelemahan makhluk jahat itu.

Boneka Jepang

Boneka Jepang adalah sebuah cerita seram tentang seorang ayah yang memiliki anak perempuan, yang menemukan sebuah kotak misterius di taman di rumah baru mereka. Cerita ini merupakan salah satu cerita-cerita seram yang ada di Jepang.

 Gambar

Karena pekerjaanku, aku harus pindah ke daerah lain dari tempat tinggalku. Perusahaan telah membayar uang sewa rumah untuk keluargaku di mana kami akan tinggal nanti untuk sementara. Rumah itu merupakan rumah yang cukup besar dan lokasinya berdampingan dengan pegunungan. Satu-satunya masalahnya hanyalah terlalu sunyi dan terpencil.

Kami sudah tinggal sekitar sebulan lamanya ketika anak perempuanku menemukan sesuatu yang aneh di tamannya. Dia menemukan sebuah kotak kecil. Ketika dia menunjukkannya padaku, aku merasa sesuatu yang tidak baik tentang kotak itu. Aku mengambil kotak itu darinya dan mengatakan bahwa aku akan membuangnya segera.

Jika waktu itu aku hanya membuangnya begitu saja, mungkin kejadian ini tidak akan menimpa kami. Entah mengapa, aku malah memutuskan untuk membakarnya.

Beberapa hari kemudian, sesuatu yang buruk terjadi. Salah satu sahabatku mengalami kecelakaan dengan mobilnya. Kendaraannya tiba-tiba terbakar. Sahabatku yang malang terjebak di dalamnya dan terbakar hidup-hidup. Dia meninggal sebelum akhirnya pemadam kebakaran tiba di tempatnya.

Tak lama dari hari itu, temanku yang lain mengalami kejadian tragis. Dia sedang menyalakan api unggun di luar rumahnya ketika tanpa sengaja membakar pakaiannya. Dia kemudian menderita luka bakar di sisi kanan wajah dan lengannya.

Aku kemudian pergi menjenguk temanku itu ketika dia sudah sembuh di rumah sakit, dan dia menceritakan seluruhnya padaku tentang kejadian itu. Dia bilang, beberapa hari sebelum kejadian itu terjadi, dia mengalami mimpi yang sangat aneh. Dalam mimpinya itu, tubuhnya terbakar dalam api.

Walau aku tidak pernah mau percaya dengan takhyul, aku merasa ngeri ketika memikirkan kembali kotak yang ditemukan putriku waktu itu.

Aku segera pulang ke rumah dan mencari di taman, melihat ke lubang di mana aku membakar kotak itu. Aku menemukannya dan ketika aku mengambilnya, aku merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhku.

Dalam kotak hangus itu, ada tiga boneka. Boneka Jepang tradisional, yang mengenakan kimono. Satu telah hangus terbakar, yang kedua hanya terbakar di satu sisinya, dan ketiga belum tersentuh dengan api. Ketika aku mengangkat boneka yang hanya terbakar separuh itu, kimononya yang sudah compang-camping jatuh ke tanah.

Di saat itulah aku melihat punggung boneka itu, dan tersentak ketakutan. Ada nama temanku terukir di punggung boneka itu. Nama dari sahabatku, yang sudah meninggal, juga terukir di belakang boneka lain yang seluruhnya telah hangus terbakar itu. Boneka yang masih utuh dan tersisa memiliki namaku, terukir di atasnya.

Seketika bulu kudukku berdiri dan menyisakanku untuk berpikir siapa yang melakukan hal ini. Siapa yang telah meninggalkan boneka-boneka ini di taman rumahku? Aku tidak merasa memiliki musuh. Tidak seorang pun yang punya alasan untuk mengutukku. Aku tidak habis pikir.

Aku lalu membawa istri dan anakku pindah dari rumah itu segera. Kami tidak bisa membuang begitu saja boneka-boneka itu, jadi kami titipkan di kuil Buddha. Bahkan hingga kini, kata-kata dari biksu Buddha yang menerimanya masih terus terngiang di kepalaku.

“Aku sudah mencoba memberkati boneka-boneka ini agar kutukannya lepas,” kata biksu itu. “Tapi itu tidak mungkin lagi. Kutukan yang melekat di boneka-boneka ini bukan berasal dari manusia …”

Badut yang Bersedih

Image

Badut yang Bersedih adalah sebuah kisah menyeramkan tentang sebuah mimpi yang aneh dialami beberapa orang, dikejar oleh seorang badut di jalan yang sunyi. Cerita ini berasal dari Jepang dan konon jika kau membaca ini, badut sedih itu akan muncul dalam mimpimu. 

Beberapa hari yang lalu, aku bermimpi mimpi yang sangat aneh. Aku berdiri di sebuah jalan menuju ke sekolah. Jalan itu sangat panjang, sempit, dan anehnya sangat sepi. Tiada angin yang bertiup, burung-burung tak ada yang berkicau, serta tiada bunyi-bunyian serangga seperti biasanya. Jalan itu benar-benar kosong dan tak seorang pun berada di sana. Aku lalu mulai melangkahkan kakiku.

Tak lama kemudian, perasaanku tidak enah. Seseorang sepertinya tengah mengamatiku. Melihat dari balik pundakku, aku menemukan figur kecil seseorang dari kejauhan. Sosok itu seperti berlari dengan kecepatan penuh. Aku terus berjalan, tapi tiap menoleh ke belakang, sosok itu kian mendekat. Seluruh kejadian itu membuatku tak nyaman, sosok itu terus berusaha mendekatiku, makin dekat dan tambah dekat.

Di satu titik, aku menghentikan langkahku dan melihat ke belakang. Sosok itu ikut berhenti. Dia hanya berdiri di tengah jalan, menatapiku. Ketika aku mulai melangkahkan kakiku lagi, sosok itu mulai mengejarku. Tiba-tiba, sosoknya berada cukup dekat denganku hingga aku bisa melihat wajahnya.

Dia seorang badut. Seorang badut yang biasa kau lihat di sebuah lukisan. Dia mengenakan sebuah topi yang compang-camping serta mantel yang lusuh, persis seperti seorang pekerja serabutan. Caranya menatapku benar-benar menakutkan dan untuk sesaat aku berpikir, “Jika dia menyerangku, dia pasti membunuhku.”

Aku ingin berlari, tapi entah mengapa aku tak sanggup. Kakiku terasa berat dan aku tak kuasa mengangkatnya. Yang bisa kulakukan hanya maju dengan kecepatan yang sama. Badut itu kian dekat dan makin dekat. Kali berikut aku menoleh, aku bisa melihat matanya. Dia sedang menangis.

Aku melihat sekolahku dari kejauhan, dan ada sebuah perasaan lega mengucuriku. Sesuatu memberitahu diriku jika aku bisa tiba di sana sebelum dia menangkapku, aku pasti akan selamat.

Ketika merengkuh gerbang utama sekolah, aku menoleh untuk terakhir kalinya. Badut itu sudah tepat di belakangku. Tangannya meremas pundakku dan mencengkeramku.

Yang paling menakutkan wajahnya. Dia tidak tampak marah sama sekali, melainkan putus asa. Tampak ketakutan. Air mata mengalir turun di pipinya yang terlukis cat.

Lalu, secara mengejutkan, dia hanya melepas dan membiarkanku pergi.

Aku berdiri di sana dengan kebingungan. Mengapa aku bisa begitu bodoh? Aku sudah ditakut-takuti tanpa alasan. Aku mulai menertawai diriku. Badut itu kemudian menghentikan langkahnya dan berbalik. Mengambil sebuah pisau berkarat dari sakunya dan mengangkat benda itu ke wajahnya.

“Kali kedua aku menangkapmu, aku harus memotongmu.” katanya. “Kali ketiga, aku harus membunuhmu … Sampai jumpa.”

Setelah itu, badut itu menyeka airmata dari wajahnya dan berjalan menjauhiku.

Aku terbangun dengan keringat dingin.

Sejak memimpikan hal itu, aku benar-benar takut untuk tidur. Selama beberapa hari, aku sudah meminum banyak kopi dan kola, mencoba membuat diriku tetap terjaga. Aku tidak punya nyali untuk menutup mataku, bahkan untuk beberapa saat. Aku takut aku bisa ketiduran … dan jika aku bermimpi, aku tahu badut itu akan ada di sana menungguku.

Yuki-Onna

Image

Di sebuah desa di propinsi Musashi, Jepang, hiduplah dua orang penebang kayu bernama Mosaku dan Minokichi. Mosaku adalah seorang lelaki tua, dan Minokichi merupakan penerusnya yang masih berusia delapan belas tahun.

Tiap hari mereka pergi ke hutan yang jaraknya sekitar lima mil dari desa mereka. Di tengah perjalanan ke hutan ada sebuah sungai yang besar mengalir di situ, beserta sebuah kapal kecil. Beberapa saat yang lalu jembatan juga dibangun di tempat kapal kecil itu berada, namun jembatan itu sering kali dilanda banjir. Tidak ada jembatan lain yang bisa menolak keadaan demikian ketika air di sungai itu meluap.

Suatu waktu di sore yang sangat dingin, Mosaku dan Minokichi tengah dalam perjalanan menuju rumahnya ketika badai salju yang hebat menggerubuti mereka. Mereka lalu pergi ke kapal kecil yang ada di situ, tapi tak mendapati pemilik perahunya – hanya meninggalkan kapal itu begitu saja di pinggir sungai. Itu bukan hari yang tepat untuk berenang, jadi penebang kayu itu lalu berlindung di bawah gubuk pemilik kapal – bersyukur dapat menemukan sebuah gubuk. Tidak ada apa-apa di dalam gubuk tersebut,  juga tidak ada tempat untuk membuat api. Itu hanyalah gubuk dengan dua tatami, sebuah pintu dan tanpa jendela. Mosaku dan Minokichi membuka pintunya dan kemudian berbaring di dalam untuk beristirahat, masih dengan mantel hujan yang menyelimuti tubuh mereka. Awalnya mereka merasa tidak terlalu kedinginan, dan berpikir bahwa badai ini tak lama lagi berakhir.

Orang tua itu sudah hampir ketiduran, tapi pemuda Minokichi, masih terjaga setelah beberapa lama seraya mendengar deru angin yang bising dan tubrukan salju tanpa henti di pintu mereka. Sungai itu meraung, dan gubuk itu bergoyang dan bergerit seperti sebuah sampah di lautan. Badai itu sangat ganas, dan udara di sekeliling makin bertambah dingin. Minokichi meringkuk di bawah mantelnya, namun tak lama, dengan udara yang begitu dingin dia pun tertidur juga.

Dia kemudian terbangun dengan setumpuk salju di wajahnya. Pintu gubuk itu sudah terbuka, dan dari cahaya yang memantul dari salju, dia melihat seorang wanita di dalam gubuk tersebut. Seorang wanita dalam balutan serba putih, tengah membungkuk ke arahnya dan meniupkan nafasnya – nafas wanita itu berwarna terang bak asap putih. Di saat yang hampir sama ketika dia melihat Minokichi, wanita itu membungkukkan tubuhnya di hadapan pemuda itu. Minokichi menjerit, tapi menyadari bahwa dia tidak dapat mengeluarkan suara sedikit pun. Wanita berpakaian putih itu lalu merendahkan badannya lagi, makin membungkuk dan ke bawah, hingga wajahnya hampir menyentuh pemuda itu. Minokichi melihat paras wanita ini, sangat cantik, namun tatapan matanya membuat Minokichi takut. Untuk beberapa saat dia masih menatap Minokichi – lalu tersenyum, dan berbisik – “Saya ingin memperlakukanmu seperti laki-laki lain, tapi saya tidak dapat menyembunyikan rasa kasihanku padamu – karena kau masih sangat muda … Kau pemuda yang tampan, Minokichi, dan saya tidak akan melukaimu sekarang. Tapi, jika kau mengatakannya kepada siapa pun – bahkan kepada ibumu – tentang apa yang kau lihat malam ini, saya pasti mengetahuinya, dan saya akan membunuhmu … Ingat apa yang saya katakan!”

Dengan kata-kata itu, wanita ini membalikkan badannya dari pemuda itu, dan berlalu melewati pintu. Seketika itu juga Minokichi bisa bergerak, dan kemudian langsung berlari keluar, menengok kemana-mana tetapi tidak menemukan wanita itu. Salju berhembus kencang masuk ke dalam gubuk itu, Minokichi lalu berlari kembali menutup pintu itu, menahan serangan salju dengan beberapa kayu untuk mengganjal pintunya. Dalam gelap malam, dia penasaran apakah angin ini yang membukanya – dia merasa bahwa dia baru saja bermimpi, dan mungkin telah salah mengira cahaya dari salju di pintu itu sebagai sosok wanita berpakaian putih tadi, tapi dia juga tidak yakin. Dia memanggil Mosaku, dan menjadi khawatir karena orang tua itu tidak menjawabnya. Dia mengeluarkan tangannya meraba-raba dalam gelap, dan menyentuh wajah Mosaku. Wajah itu sangat dingin bak es! Mosaku membeku dan sudah meninggal.

Ketika subuh tiba, badai pun reda dan saat pemilik kapal kembali dari posnya – sesaat setelah matahari terbit, dia menemukan Minokichi terbaring tak sadarkan diri di samping tubuh Mosaku. Minokichi kemudian dibawa untuk dirawat, dan segera sadarkan diri. Tapi dia masih sakit dalam waktu yang lama akibat dinginnya malam itu. Dia sangat terpukul dengan kematian orang tuanya, tapi tidak mengatakan tentang wanita putih yang dilihatnya. Tak lama setelah dia sehat kembali, dia menjalani hari-harinya seperti biasa – pergi ke hutan tiap pagi sendirian, dan kembali di malam hari dengan setumpuk kayu, di mana ibunya nanti akan membantu menjualnya.

Suatu sore, di musim dingin di tahun berikutnya, ketika dia tengah dalam perjalanan pulang ke rumah, dia melihat seorang gadis yang berjalan di jalan yang sama dengannya. Gadis itu tinggi, langsing, serta menarik, dan dia mengucapkan salam dengan suara yang lembut di telinga bak kicauan burung kepada Minokichi. Minokichi kemudian berjalan di sampingnya, dan mereka mulai saling berbagi cerita. Gadis itu mengatakan namanya O-Yuki. Dia telah kehilangan kedua orangtuanya, dan dia akan pergi Yedo (Tokyo). Di sana dia akan menjalani kehidupan yang berat, mungkin diberikan pekerjaan sebagai seorang pembantu. Minokichi merasa terkesima dengan pembawaan gadis asing ini, dan makin dia melihatnya, semakin menarik gadis ini baginya. Minokichi bertanya apakah gadis ini sudah bertunangan, dan dia menjawabnya dengan tertawa, dia masih seorang diri. Kemudian, giliran sang gadis menanyakan apakah Minokichi sudah menikah, atau bertunangan, dan pemuda ini memberitahunya bahwa walau dia hanya memiliki ibu yang sudah menjanda, pertanyaan tentang siapa “menantu pilihan” belum disiapkan, karena dirinya masih sangat muda. Setelah percakapan itu, mereka berdua berjalan jauh tanpa berbicara lagi. Namun, seperti kata pepatah, “Ketika ada keinginan, mata bisa mengatakan sebanyak yang mulut bisa.”

Ketika mereka akhirnya tiba di desa,  mereka saling menyukai satu sama lain. Minokichi kemudian menanyakan O-Yuki untuk beristirahat sejenak di rumahnya. Dengan malu-malu, gadis ini akhirnya bersedia ikut dengan pemuda ini, dan ibu Minokichi lalu menyambut mereka, menyiapkan makanan yang menghangatkan tubuh untuknya. O-Yuki berperilaku sangat baik hingga ibu Minokichi langsung menyukainya, dan berharap dia menunda petualangannya ke Yedo. Dan seperti akhir yang lainnya, Yuki tidak pernah pergi ke Yedo. Dia tinggal di rumah itu, dan menjadi “menantu pilihan”.

O-Yuki memang merupakan menantu yang sangat baik. Lima tahun berselang, ketika ibu Minokichi sekarat hampir meninggal, kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya adalah pujian dan kasih sayang untuk istri putranya. O-Yuki memberi Minokichi sepuluh orang anak, laki-laki dan perempuan – seluruh anak mereka adalah anak yang tampan dan cantik, dengan kulit yang lembut.

Orang-orang di desa menganggap O-Yuki adalah wanita yang menakjubkan, sangat berbeda secara alami dengan mereka. Banyak dari wanita menjadi tua lebih cepat, tapi O-Yuki, bahkan setelah menjadi ibu dari sepuluh orang anak, dia masih kelihatan muda dan bening seperti hari pertama dia datang ke desa itu.

Suatu malam, setelah anak-anak mereka sudah tidur lelap, O-Yuki sedang menjahit ditemani cahaya dari lampion, dan Minokichi memperhatikannya.

“Melihatmu menjahit, dengan pendar cahaya di wajahmu, membuatku teringat kejadian aneh yang pernah kualami ketika masih seorang anak laki-laki berusia delapan belas tahun. Saya pernah melihat seseorang yang cantik dan putih seperti dirimu sekarang – Ya, dia memang sangat mirip denganmu.”

Tanpa mengangkat pandangannya dari pekerjaan, O-Yuki membalasnya.

“Katakan padaku tentangnya … Di mana kau melihatnya?”

Lalu Minokichi menceritakannya tentang malam yang mengerikan di gubuk pemilik kapal saat itu – dan tentang Wanita Putih yang membungkuk ke arahnya, tersenyum dan berbisik – dan tentang kematian tak terduga dari Mosaku tua. Dia mengatakan – 

“Entah tidur atau sadar, hanya saat itulah saya melihat sesosok secantik dirimu. Tentu saja, dia bukan manusia, dan saya takut kepadanya – sangat-sangat takut – tapi dia sungguh putih! … Ya, saya tidak pernah yakin apakah itu yang kulihat itu sebuah mimpi, atau Wanita Salju.”

O-Yuki melempar jahitannya, berdiri, dan merunduk ke Minokichi di mana dia duduk, dan tertawa memekik di depan wajahnya. 

“Itu saya – saya – saya! Itu Yuki! Dan saya memberitahumu bahwa saya akan membunuhmu jika kau pernah mengatakan kepada seorang pun tentang itu! … Tapi demi anak-anak yang masih tertidur di sana, saya tidak akan membunuhmu saat ini! Dan mulai kini sebaiknya kau sangat, sangat memperhatikan mereka. Karena jika mereka memiliki alasan untuk mengeluh padamu, saya akan memperlakukanmu seperti selayaknya!”

Bahkan ketika dia menjerit, suaranya sangat lembut, seperti tangisan sang angin – tak lama kemudian dia menguap menjadi kabut putih bersih yang membumbung di langit-langit, dan menyelinap keluar dari lubang asap. Tak pernah terlihat lagi.

Ujian Cinta

Ujian Cinta adalah sebuah cerita menakutkan dari Jepang tentang seorang gadis cantik yang sangat ditakuti oleh seorang pemuda yang ingin mengencaninya. Cerita ini berdasarkan cerita rakyat Jepang yang ditulis oleh Lafcadio Hearn pada bukunya di “Of Ghost and Goblins – Section 6”.

Gambar

Bertahun-tahun yang lalu, di Jepang, ada seorang gadis kecil yang tinggal bersama orangtuanya di sebuah desa yang terpencil. Gadis itu sangat menarik, dengan rambut panjangnya yang hitam, kulit putih bersih dan mata oval yang menakjubkan. Pemuda-pemuda dari seantero Jepang berdatangan dari jauh hanya untuk memohon agar dapat berkencan dengannya.

Dengan makin merebaknya kecantikan gadis ini di seluruh daerah sekitar sana, semakin banyak pria yang datang mengunjungi pintu rumahnya, menunjukkan rasa cinta mereka padanya dan memohon agar bisa membawanya keluar di sore hari.

Walau demikian, tidak satu pun pemuda bisa bertahan lebih dari sekali kencan dengannya. Sebelum malam berakhir, mereka semua terlihat berlari tergesa-gesa, berteriak dengan ketakutan. Tiada dari mereka ingin membicarakan apa yang terjadi dan semuanya menolak untuk bertemu dengan gadis itu lagi.

Tak lama kemudian, para pemuda berhenti mengunjunginya dan orangtua gadis itu mulai khawatir bahwa anak perempuannya tidak akan pernah memiliki seorang suami. Rumor pun mulai berkembang di sekitar desa tersebut. Orang-orang mengatakan bahwa pasti ada yang salah dengan gadis cantik itu. Sebagian orang penasaran apakah dia memiliki kepribadian yang sangat buruk. Sebagian lagi berpikir bahwa mungkin dia memiliki tubuh yang cacat hingga membuat para pemuda itu pergi menjauhinya.

Orangtuanya sungguh terheran-heran. Mereka tidak dapat mempercayai mengapa banyak pemuda sangat ketakutan dengan putri mereka. Dia selalu bersikap manis, sopan, sifatnya juga rendah hati dan menyenangkan. Dia belajar keras di sore hari dan tidak pernah mengeluh ketika ibunya memintanya melakukan tugas rumahan.

Suatu hari, ketika ayahnya keluar ke kebun, memotong rumput di padangnya, seorang pemuda berjalan melintas di jalur kebun tersebut.

“Apa yang kau inginkan?” tanya lelaki tua itu.

“Aku ingin mengajak anak gadis anda keluar.” kata pemuda.

Sang ayah lalu gembira. “Mari sini.” katanya, dan dia dengan senang hati memperkenalkan pemuda itu dengan anak perempuannya yang cantik. Gadis itu kelihatan sangat pemalu dan tidak pernah menatap langsung pemuda tersebut. Dia berbicara lemah lembut, suaranya hampir seperti berbisik-bisik dan kapan pun pemuda itu membalasnya, pipinya akan merona.

Di samping itu, pemuda ini kelihatan hanyut dalam kecantikannya dan mencoba mengajaknya keluar berkencan. Gadis ini menerimanya dan mengantar pemuda itu ke pintu ketika ingin pamit.

“Tidak sekarang,” bisiknya. “Datanglah kembali tengah malam dan hati-hati jangan mengetuk terlalu keras atau kau akan membangunkan orangtuaku.”

Pemuda itu tertegun tapi dia tetap kembali malam itu dan mengetuk pelan-pelan jendela kamar tidur sang gadis. Tiba-tiba, jendela itu terbuka dan gadis itu memanjat keluar.

“Sebelum aku ikut denganmu, kau harus berjanji padaku suatu hal.” bisik gadis itu.

Pemuda itu mengangguk tanpa ragu.

“Aku ingin kau melakukan sebuah ujian atas cintamu,” katanya. “Jika benar-benar mencintaiku, kau pasti akan melewati ujian ini. Berjanjilah padaku bahwa jika saja dirimu gagal, kau tidak akan pernah memberitahukan orang lain tentang apa yang terjadi malam ini.”

Sang pemuda tidak bisa membayangkan apa yang ada di pikiran gadis cantik ini tapi dia menyetujuinya tanpa menanyakan alasan. Dengan tangan yang menempel di dadanya, dia berjanji, “Aku bersumpah sebenar-benarnya bahwa aku tidak akan menyampaikan sepatah kata pun dari malam ini kepada siapa pun.”

“Baik. Ikuti aku.” kata gadis itu.

“Dimana kita akan pergi,” tanya pemuda tersebut, tapi sang gadis tidak menjawabnya.

Saat itu malam sangat gelap dan bulan bersembunyi di balik awan-awan. Di Jepang, konon malam-malam seperti inilah para hantu berkeliaran di bumi. Kedua insan itu bisa mendengar suara lolongan anjing yang mengerikan dari kejauhan. Mereka berdua menyelinap di antara jalan-jalan pedesaan hingga mereka tiba ke sebuah hutan.

Gadis itu dengan cepat masuk ke dalam jalur yang gelap dan penuh dengan tumbuhan liar, pemuda itu bahkan harus berlari agar dapat mengikutinya. Jalur itu dikelilingi oleh pepohonan yang lebat menjulang ke atas seperti raksasa yang menakutkan. Dan akhirnya, mereka tiba ke sebuah pemakaman kuno.

Bulan lalu muncul di belakang awan-awan, memberi pendar cahayanya yang pucat dan pemuda itu bisa melihat batu-batu nisan yang dilapisi dengan lumut dan tumbuhan yang merambat di sekelilingnya.

Gaun malam sang gadis terlihat berombak-ombak mengikuti angin lembut yang bertiup malam itu. Dia berdiri di ujung sebuah makam yang kelihatannya masih baru. Ketika pemuda itu melihat, gadis itu lalu mengambil sebuah sekop tua yang berkarat dan mulai menggali, menghambur rumput-rumput dan kotoran di mana-mana. Kemudian, dia menurunkan lututnya dan menyingkirkan kotoran yang tersisa hingga dia dapat membuka peti mayat yang ada di bawahnya.

Keterkejutan sang pemuda terlihat oleh gadis itu ketika mengangkat pandangannya ke atas. Dia kemudian membuka kain kafan putih di hadapannya, dan merobek sebuah lengan dari jasad yang ada di dalamnya. Lalu dia menggigit lengan itu diantara giginya dan mengambil sebuah potongan besar. Gadis itu mengunyah dengan keras seraya menatap pemuda itu.

“Ini ujiannya,” desis gadis itu. “Jika kau mencintaiku, kau akan melakukan apa yang kulakukan … Kau akan makan apa yang kumakan.”

Dengan begitu, dia menarik lengan yang lainnya terlepas dari jasad tadi dan menyodorkannya ke pemuda itu. Pemuda itu tidak menyisakan sedikit waktu pun untuk berpikir. Dia mengambil lengan itu dan mengunyah sepotong gigitan besar.

Namun kini dia lebih terkejut lagi. Dia tidak pernah membayangkan daging manusia bisa seenak ini. Tiba-tiba dia menyadari bahwa dia bukan memakan jasad orang mati sama sekali. Itu semua hanya tipuan. Jasad itu hanyalah gula-gula, terbuat dari tepung beras dan gula.

Gadis cantik itu langsung meledakkan tawanya. “Kau tahu, dari semua laki-laki yang datang untuk mengajakku berkencan, hanya dirimu satu-satunya yang tidak melarikan diri. Aku ingin menikahi seseorang yang pemberani dan ini membuktikan kaulah orang itu. Sekarang, aku bisa jatuh cinta padamu.”

Pemuda itu tidak melebarkan senyumannya sedikit pun, dia hanya berdiri di sana dalam kegelapan – di ujung makam tersebut, hanya memandangnya. Matanya terisi dengan amarah dan kebencian.

“Hanya gula-gula?” geramnya. “Aku pikir kau sama denganku.”

Setelah itu, dia mengambil sekop tadi dan mulai menggali makam yang lainnya. Ketika dia mengeluarkan sebuah peti mati, dia merusaknya agar terbuka dan mulai melahap jasad yang ada di dalamnya.

Kali ini gadis itulah yang berlari dengan menjerit.